Usaha Kecil Menengah (UKM) di Indonesia sepertinya semakin terlupakan di tengah pesatnya perkenomian modern yang memasuki pasar dalam negeri.
Ditengah ancaman pasar modern, akses modal kerja dan regulasi pemerintah yang semakin tidak menguntungkan, para pelaku UKM harus berjuang untuk mengatasi tantangan tersebut agar bisa tetap bersaing dengan pasar ekonomi modern.
Berbagai tantangan UKM belum berakhir hanya sampai disitu, dalam kurun waktu satu dekade belakangan telah banyak disepakati perjanjian antar negara dalam rangka liberalisasi ekonomi. Sebut saja AFTA, NAFTA, APEC untuk kawasan regional, dan untuk kawasan dunia melalui GATT/WTO.
DAMPAK BURUK BAGI UKM INDONESIA
Banyak pihak memang mengakui bahwa tujuan akhir yang hendak dicapai dari pakta perdagangan ini adalah baik. Namun hal ini juga dapat membawa dampak buruk bagi UKM tanah air, apabila UKM di dalam negeri belum siap bersaing.“Melihat UKM di Indonesia secara umum sudah dapat dipastikan bahwa akan banyak UKM di dalam negeri akan kalah bersaing. Khususnya usaha kecil menengah yang berada di perdesaan dimana tingkat produktivitas (total factor productivity) atau efisiensinya rendah,” terang Arsono Putranto beberapa saat lalu.
Akibat dibukanya pintu liberalisasi ini menyebabkan tidak semua UKM yang mampu mengikuti perkembangan pasar, karena ada beberapa UKM yang masih memiliki keterbatasan, baik modal kerja maupun sumber daya manusia yang mereka miliki. Terutama keterbatasan dari segi manajemen, teknis produksi dan pemasaran, jelas akan membawa UKM kedalam keadaan yang sulit.
Walau demikian, kalangan pelaku dan pemerhati kewirausahaan lainnya tetap yakin bahwa UKM Indonesia dapat mengatasi tantangan ini, seperti halnya saat UKM mampu berdiri ditengah krisis multidimensi yang melanda tanah air pada tahun 1997 yang lalu.
Semua ini tinggal bagaimana, semua pihak yang peduli untuk tetap memajukan UKM Indonesia. Khususnya pemerintah, sebagai regulator dimana ada baiknya pemerintah melalui departemen terkait membuat regulasi yang memproteksi UKM tanah air.